Mengenal Autisme pada Anak (Latihan 18 Nursadhrina 705140022)
Mengenal Autisme pada Anak
Latar Belakang
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan pada tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad lalu. Leo Kanner sendiri adalah seorang ilmuwan dari Austria yang mempelajari tentang autisme (Leo Kanner dikutip dalam Handojo, 2003).
“Penting untuk diingat bahwa autisme tidak lagi dikelompokkan sebagai penyakit mental atau psikosis seperti dahulu” (Peeters, 2004). Penanganan bagi anak autisme harus dilakukan sedini mungkin, idealnya adalah pada usia 2-3 tahun. Usia tersebut dipilih karena saat usia anak melebihi 5 tahun, perkembangan otak akan sangat melambat (Handojo, 2003).
Pengertian Autisme
“Autis merupakan salah satu kelompok dari gangguan pada anak yang ditandai munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya” (Veskarisyanti, 2008).
“Autism is physical disorder of the brain that cause a lifelong developmental diability” (Children with autism, 2000).
Tanda-Tanda Autisme
Priyatna (2010, h. 11) menyatakan bahwa tanda-tanda yang perlu diwaspadai sebagai tanda autisme, yaitu:
(a) bermasalah dalam berinteraksi, bermain, dan berhubungan dengan orang lain; (b) perilaku menghindar dari eye contact serta tidak pernah peduli pada orang-orang yang ada di sekelilingnya; (c) tidak pernah benar-benar memerhatikan suatu objek, pada saat dia memerlukan objek tersebut; (d) suka melakukan gerakan-gerakan yang aneh-seperti: me-ngepak-ngepakkan kedua tangan seperti burung (hand flapping), berputar-putar (spinning), atau mengetuk-ngetuk sesuatu (tapping); (e) terjadi keterlambatan pada pertumbuhan dan perkembangnya, atau pun hilangnya keahlian yang sudah pernah dikuasainya; (f) lebih suka bermain dengan mainan yang itu-itu saja, atau selalu mengulang-ulang kegiatan yang sama setiap hari; (g) tidak mampu menggunakan atau memahami bahasa; dan (h) tampak cuek, dan tidak peduli sama sekali pada segala sesuatu yang ada di sekelilingnya.
Jenis Prilaku Anak Autisme
Handojo (2003) mengemukakan bahwa perilaku autistik digolongkan dalam 2 jenis, yaitu perilaku yang eksesif (berlebihan) dan perilaku yang defisit (berkekurangan). Contoh perilaku eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menendang, menggigit, mencakar, memukul, dan lain-lain. Selain itu anak juga sering menyakiti diri sendiri (self-abuse). Perilaku defisit ditandai dengan (a) gangguan bicara, (b) defisit sensoris, (c) tertawa atau menangis tanpa sebab, dan (d) melamun.
Penyebab Autisme
Secara garis besar, penyebab autisme dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kelainan pada otak serta kelainan genetik dan faktor eksternal yang meliputi infeksi, imunisasi, dan faktor makanan.
Faktor internal. Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan kelainan anatomis pada lobus parietalis, cerebellum dan sistem limbik. 43% penyandang autisme mempunyai kelainan pada lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak tidak perduli terhadap lingkungannya. Kelainan pada cerebellum (otak kecil), merusak sistem sensori, daya ingat, berpikir, berbahasa, dan proses atensi (perhatian). Pada anak autisme juga didapati jumlah sel purkinye di otak kecil yang sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan impuls di otak (Handojo, 2003).
Kelainan pada sistem limbik yang disebut hippocampus dan amygdala, mengganggu fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi. Oleh karena itu anak dapat menjadi sangat agresif atau sangat pasif. Kelainan pada hippocampus juga merusak daya ingat, yang menyebabkan anak sulit untuk mengingat informasi baru. Perilaku diulang-ulang, yang aneh dan hiperaktif juga disebabkan gangguan hippocampus (Handojo, 2003).
Faktor genetika diduga menjadi penyebab utamanya. Kelainan pada kromosom diperkirakan menjadi salah satu kelainan pada faktor genetika yang menyebabkan autisme pada anak (Handojo, 2003).
Faktor eksternal. Dapat disebabkan oleh gangguan pada kehamilan trisemester pertama, saat kandungan berumur 0-4 bulan. Faktor pemicunya, yaitu: (a) infeksi, (b) alergi berat, (c) obat-obatan, (e) muntah-muntah hebat, (f) perdarahan berat, (g) logam berat, dan (h) zat adiktif. Selain itu imunisasi MMR dan Hepatitis B juga dapat menjadi faktor pemicu autisme pada anak, walaupun dua jenis imunisasi ini masih krontroversial (Handojo, 2003).
Terapi bagi Anak Pengidap Autisme
Terapi perilaku. Terapi perilaku bertujuan membantu anak untuk dapat menyesuaikan diri pada lingkungan sekitar. Dengan mengurangi perilaku-perilaku yang berlebihan. Terapi perilaku terdiri dari terapi okupasi dan wicara (Veskarisyanti, 2008).
Terapi okupasi. Terapi okupasi bertujuan untuk melatih otot-otot halus anak. Berdasarkan penelitian anak pengidap autisme memang memiliki sensor motorik yang kurang baik (Veskarisyanti, 2008).
Terapi wicara. Hampir semua penyandang autisme memiliki masalah keterlambatan bicara. Terapi ini bertujuan untuk melatih anak agar dapat berbicara (Veskarisyanti, 2008).
Terapi biomedik. Terapi ini meliputi pemberian obat-obatan, vitamin, mineral, dan food supplements. Pemberian obat-obatan bertujuan untuk membantu penyembuhan dari dalam, namun harus dibarengi oleh terapi-terapi yang lain untuk mendapatkan hasil yang maksimal (Veskarisyanti, 2008).
Simpulan
Autisme adalah sebuah gangguan perkembangan yang parah. Hal ini menyebabkan penderitanya mengalami masalah dalam berinteraksi dengan dunia luar. Kelainan genetika diduga menjadi penyebab utama dari autisme. Tidak menutup kemungkinan anak-anak dengan kebutuhan khusus dapat menjadi ‘normal’ kembali. Banyak pilihan terapi yang telah dikembangkan untuk mendukung pemulihan ini. Pemilihan terapi yang tepat serta intensitas terapi yang maksimal sangat berperan penting dalam kesembuhan anak. Peranan aktif keluarga dan dukungan penuh bagi anak pengidap autisme juga menjadi salah satu faktor yang mendukung bagi proses kesembuhan anak.
Grandin dikutip dalam Kidd (2008, h. 5) menyatakan bahwa,
Hal terbaik yang bisa dilakukan oleh orangtua yang anaknya baru saja didiagnosis mengidap autisme adalah mengawasi anaknya tanpa praduga dan penilaian, lalu mempelajari gaya hidup, tingkah laku, serta reaksi sang anak terhadap dunianya. Dengan cara ini, orangtua akan menemukan metode intervensi yang sesuai dengan gaya dan kebutuhan belajar anaknya.
Daftar Pustaka
Children with Autism. (2000). Children with Autism (2nd ed.). Dalam M. D. Powers (Ed.). Bethesda, MD: Woodbine House.
Handojo, Y. (2003) Autisma: Petunjuk praktis dan pedoman materi untuk mengajar anak normal, autis dan perilaku lain. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Kidd, S. L. (2011). Anakku autis, harus bagaimana? 10 langkah awal mengatasi autisme pada anak (S. K. Gitomartoyo, Penerj.). Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Peeters, T. (2004). Autisme: Hubungan pengetahuan teoritis dan intervensi pendidikan bagi penyandang autis (O. H. Simbolon, Penerj.). Jakarta: Dian Rakyat.
Priyatna, A. (2010). Amazing autism! memahami, mengasuh, dan mendidik anak autis. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Veskarisyanti, G. A. (2008). 12 Terapi autis: Paling efektif & hemat untuk autisme, hiperaktif, dan retardasi mental. Yogyakarta: Pustaka Anggrek.
Saturday, November 15, 2014 | | 0 Comments
LATIHAN 17 Nursadhrina 705140022
Keterlambatan
Bicara Pada Anak
Pengertian Berbicara
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Berbicara adalah (a) berkata, (b) bercakap, dan (c) berbahasa.
Pengertian Bahasa
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata berbahasa/ bahasa yang terkandung dalam
poin C memiliki pengertian sebagai stem lambang bunyi yang arbitrer, yangg
digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk
(a) bekerja sama, (b) berinteraksi, dan (c) mengidentifikasikan diri
(KBBI, 2005).
Pengertian
Keterlambatan Berbicara Menurut Para Ahli
“Berbicara
dapat dikatakan terganggu, jika berbicara itu sendiri membawa perhatian yang
tidak menyenangkan pada si pembicara, komunikasi itu sendiri terganggu atau
menyebabkan si pembicara menjadi kesulitan untuk menempatkan diri (terlihat
aneh, tidak terdengar jelas, dan tidak menyenangkan)” (Emerick, 1979).
Sedangkan
menurut Berry and Eisenson (1957) menyimpulkan gangguan kesulitan bicara
sebagai: (a) tidak mudah didengar, (b) tidak langsung terdengar dengan jelas,
(c) secara vocal terdengar tidak enak, (d) terdapat kesalahan pada bunyi-bunyi
tertentu, (e) bicara itu sendiri sulit diucapkan, (f) terdapat kekurangan dari
sisi linguistic, (g) tidak sesuai dengan umur, jenis kelamin, dan perkembangan
fisik pembicara, dan (h) terlihat tiak menyenangkan bila ia berbicara.
Perkembangan
Bicara pada Anak
Usia
0-6 bulan. Saat lahir, bayi hanya dapat menangis untuk
menyatakan keinginannya. Pada usia 2-3 bulan, bayi mulai dapat membuat
suara-suara sseperti “aah” atau “uuh” yang dikenal dengan istilah “cooing.”
Ia juga senang bereksperimen dengan berbagai bunyi yang dapat dihasilkannya,
misalnya suara menyerupai berkumur. Bayi juga mulai bereaksi terhadap orang
lain dengan mengeluarkan suara. Setelah usia 3 bulan, bayi akan mencari sumber
suara yang didengarnya dan menyukai mainan yang mengeluarkan suara.
Mendekati usia 6 bulan, bayi dapat
berespons terhadap namanya sendiri dan mengenali emosi dalam nada bicara. Cooing berangsur menjadi babbling, yakni mengoceh dengan
suku kata tunggal, misalnya “papapapapa,” “dadadadada,” “bababababa,”
“mamamamama.” Bayi juga mulai dapat mengatur nada bicaranya sesuai emosi yang
dirasakannya, dengan ekspresi wajah yang sesuai.
Usia 6-12 bulan. Pada
usia 6-9 bulan, bayi mulai mengerti nama-nama orang dan benda serta
konsep-konsep dasar seperti “ya,” “tidak,” “habis.” Saat babbling, ia menggunakan
intonasi atau nada bicara seperti bahasa ibunya. Ia pun dapat mengucapkan
kata-kata sederhana seperti “mama” dan “papa” tanpa arti.
Pada usia 9-12 bulan, ia sudah dapat mengucapkan “mama” dan “papa” (atau
istilah lain yang biasa digunakan untuk ibu dan ayah atau pengasuh utama
lainnya) dengan arti. Ia menengok apabila namanya dipanggil dan mengerti
beberapa perintah sederhana (misal “lihat itu,” “ayo sini”). Ia menggunakan
isyarat untuk menyatakan keinginannya, misalnya menunjuk, merentangkan tangan
ke atas untuk minta digendong, atau melambaikan tangan (“dadah”). Ia suka
membeo, menirukan kata atau bunyi yang didengarnya. Pada usia 12 bulan bayi sudah
mengerti sekitar 70 kata.
Usia 12-18 bulan. Pada
usia ini, anak biasanya sudah dapat mengucapkan 3-6 kata dengan arti, dapat
mengangguk atau menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan, menunjuk
anggota tubuh atau gambar yang disebutkan orang lain, dan mengikuti perintah
satu langkah (“Tolong ambilkan mainan itu”). Kosakata anak bertambah dengan
pesat; pada usia 15 bulan ia mungkin baru dapat mengucapkan 3-6 kata dengan
arti, namun pada usia 18 bulan kosakatanya telah mencapai 5-50 kata. Pada akhir
masa ini, anak sudah bisa menyatakan sebagian besar keinginannya dengan
kata-kata.
Usia 18-24 bulan. Dalam
kurun waktu ini anak mengalami “ledakan bahasa.” Hampir setiap hari ia memiliki
kosakata baru. Ia dapat membuat kalimat yang terdiri atas dua kata (“mama
mandi,” “naik sepeda”) dan dapat mengikuti perintah dua langkah. Pada fase ini
anak akan senang mendengarkan cerita. Pada usia dua tahun, sekitar 50%
bicaranya dapat dimengerti orang lain.
Usia 2-3 tahun. Setelah
usia 2 tahun, hampir semua kata yang diucapkan anak telah dapat dimengerti oleh
orang lain. Anak sudah biasa menggunakan kalimat 2-3 kata – mendekati usia 3
tahun bahkan 3 kata atau lebih – dan mulai menggunakan kalimat tanya. Ia dapat
menyebutkan nama dan kegunaan benda-benda yang sering ditemui, sudah mengenal
warna, dan senang bernyanyi atau bersajak (misalnya “Pok Ami-Ami”).
Usia 3-5 tahun. Anak
pada usia ini tertarik mendengarkan cerita dan percakapan di sekitarnya. Ia
dapat menyebutkan nama, umur, dan jenis kelaminnya, serta menggunakan
kalimat-kalimat panjang (>4 kata) saat berbicara. Pada usia 4 tahun,
bicaranya sepenuhnya dapat dimengerti oleh orang lain. Anak sudah dapat
menceritakan dengan lancar dan cukup rinci tentang hal-hal yang dialaminya.
Penyebab
Keterlambatan Bicara
Keterlambatan
bicara dapat disebabkan karena adanya problem dengan output bicara (problem
anatomis misalnya pita suara), input bicara (pendengaran terganggu), atau
karena pemrosesan bicara (retardasi mental dan gangguan perkembangan bahasa).
Biasanya gangguan bicara dan berbahasa juga disertai kondisi tertentu
seperti hypotonis: tonus otot (tegangan atau ketahanan terhadap gerakan dalam
otot) lemah. Selain itu, juga gangguan integrasi sensoris, yakni kemampuan
badan memproses informasi yang diterima pancaindra. Selain hypotonia dan
gangguan integrasi indra sensoris, ada kondisi yang dihubungkan dengan
kesulitan bicara dan berbahasa; contohnya: Attention Deficit/Hyperactivity
Disorder (ADHD) adalah gangguan neurobiology dengan karrakteristik kurang dapat
memerhatikan, impulsive, dan hiperaktif.
Kondisi-kondisi lain yang disertai keterlambatan bicara dan berbahasa
antara lain: gangguan spectrum autistic, disability pada kognitif dan
intelektual, sindroma down, dan kerusakan pendengaran. Albert Einstein adalah
contoh klasik genius yang terlambat bicara, sehingga pada anak-anak cerdas yang
lambat bicara disebut Einstein syndrome oleh Sowell (2011).
Dampak
Keterlambatan Bicara Bagi Psikologis Anak. Pada anak yang mengalami keterlambatan bicara mereka
cenderung mudah cemas dan khawatir tidak dapat bersosialisasi dengan
teman-temannya. Ketidakmampuan anak mengutarakan keinginan dan aspirasinya
membuat anak menjadi frustrasi dan mudah marah (tantrum). Hal ini dapat juga
memicu rasa frustrasi pada pihak keluarga karena mereka tidak dapat memahi
keingina anak dengan baik. Orangtua dan orang-orang di sekitarnya harus selalu
menebak-nebak kemauannya. Bila tidak sesuai dengan kemauan si anak, ia akan
marah dan frustrasi. Sebaliknya, bila tidak marah anak akan cenderung menjadi
pasif.
Cara
Menguji Tanda-Tanda Kesulitan Bicara pada Anak. Agin et al. (2003: 36-37) membuat
daftar pertanyaan untuk menguji adanya tanda-tanda apraxia, yang apabila
mayoritas jawaban YA, maka anak terdeteksi apraxia.
- Lebih senang memakai satu silabel untuk semua kata, misalnya, “da” untuk mengeneralisasi daddy, brother, dog, dan book.
- Sering menghilangkan sebuah bunyi atau silabel, jadi bilang “wah” untuk water; distorsikan vowel, misalnya, bilang “tuck” untuk truck.
- Membalik bunyi atau silabel, misalnya bilang shif untuk fish atau miskate untuk mistake.
- Menambah bunyi ekstra atau silabel ekstra dalam kata-kata.
- Sulit memproduksi kata-kata dengan jumlah beberapa silabel.
- Membuat lebih banyak kesalahan ketika mencoba membuat pernyataan lebih panjang.
- Mendapatkan bahwa bicara mudah pada suatu hari, dan sulit pada lain hari.
- Dapat dengan benar mengucapkan kata yang sulit; tapi kesulitan di waktu lain.
- Bicara terlalu lambat atau terlalu cepat; atau meletakkan tidak tepat tekanan pada silabel atau kata tertentu.
- Menunjukka prilaku “gropping”, mencoba menemukan posisi mulut yang tepat, postur diam, atau disfluensi/stuttering.
- Menunjukkan gangguan bahasa ekspresif; vocabulary terbatas, kesalahan gramatika, atau syntax tidak berurutan.
- Hanya menggunakan kombinasi konsonan secara terbatas, hanya mengucapkan b/ p/ m/ t/ d/ h.
- Mengerti bahsa jauh lebih baik daripada ia mampu mengekspresikan dirinya.
- Memiliki tanda-tanda hypotonia (tonus otot lemah), terutama pada torso, dan/ atau hypotonia oral, ekspresi wajahh sedikit (tonus otot rongga mulut lemah, juga pipi).
- Menunjukkan inkoordinasi motorik kasar dan halus (dyspraxia umum, syndrome “clumsy child”).
- Memiliki disfungsi integrasi sensoris dan masalah mengatur diri sendiri (kesulitan menenangkan diri, misalnya).
- Memakai kedua tangannya (mayoritas anak menunjukkan preferensi pada satu sisi tangan-atau dominansi tangan-pada umur 2 tahun.
- Dari keluarga dengan sejarah problem bicara, bahasa, dan belajar.
Mengatasi
Kesulitan Bicara
Ada banyak metode speech therapy. Salah satunya yang dikemukakan oleh
Agin et al. (2003: 55-57) menguraikan dengan jelas tiga metode pokok speech
therapy. Pertama, metode pendekatan touch-and gestural-cueing dikenal sebagai
Prompts for Restructing Oral Muscular
Phonetic Targets (PROMPT); di mana therapist memberi tekanan pada tempat
tertentu di wajah, bibir, dagu, untuk membentuk fitur wajah anak ke bentuk yang
memproduksi bermacam bunyi.
Metode Speech
Therapy Kedua.
“Pendekatan Rhytmitic and Melodic Intonation-digunakan untuk memperlambat atau
mempercepat kecepatan bicara, agar anak terbantu mengurutkan silabel dengan
kombinasi bertepuk tangan, berbaris ketika tiap silabel diucaokan; atau
mengajar di mana menempatkan tekanan pada sebuah kata.” Hal ini dipraktikkan
dengan: bertepuk tangan ketika mengatakan urutan bunyi atau menyanyikan lagu;
melambungkan bola degan berirama bersamaan dengan pengucapan silabel atau
kata-kata; menyentuh gambar atau kata sembari mengatakannya; dan berjalan pada
gambar jejak kaki; tiap langkah satu kata diucapkan.
Metode
Speech Therapy Ketiga. Adalah therapy oral-motor, supaya
anak merasakan adanya benda di mulutnya dengan tujuan mengingatkan kesadaran
sensori oral; dan dapat dilatih dengan meniup gelembung udara/ bubble, balon,
peluit, terompet, menggunakan lidah untuk makan makanan bermacam tekstur dari
es krim, lollipop, permen kenyal gummy bears, apel keras, buah kering, dan
berondong.
Daftar Pustaka
Indriarti,
E. (2011). Kesulitan bicara dan berbahasa
pada anak: Terapi dan strategi orang tua. Jakarta: Perdana Media Group.
Lestari,
D. (2013). Definisi pengertian gangguan kesulitan dan keterlambatan berbicara
dan berbahasa. Diunduh dari: http://anakabk.wordpress.com/2013/10/28/definisi-pengertian-gangguan-kesulitan-dan-keterlambatan-berbicara-dan-berbahasa/
Pusat
Bahasa Depdiknas (2005). Kamus Besar
Bahasa Indonesia (ed. 3rd). Jakarta: Balai Pustaka.
Soebadi,
A. (2013, June 21) Keterlambatan bicara. Diunduh dari: http://idai.or.id/public-articles/klinik/keluhan-anak/keterlambatan-bicara.html
Thursday, November 06, 2014 | | 0 Comments
Kebebasan
Jiwa dan Badan
Eksistensi jiwa dalam tubuh memampukan manusia untuk menghadirkan diri secara total di dunia dan memungkinkan manusia menentukan perbuatannya.
Dalam fungsi menentukan perbuatan, jiwa berhubungan dengan kehendak bebas, karena jiwalah manusia menjadi mahluk bebas.
Kebebasan itu mendasar bagi manusia dan merupakan penting humanisme.
“Sejarah manusia merupakan sejarah perjuangan kebebasan” (Erich Fromm, The Fear of Freedom, 1960)
Artinya, kebebasan menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi manusia.
Pandangan Determinisme
adalah aliran yang menolak kebebasan sebagai kenyataan hidup bagi manusia. Setiap peristiwa, termasuk tindakan dan keputusan manusia disebabkan oleh peristiwa-peristiwa lainnya.
Pandangan dan juga aliran mengenai determinisme:
1. Determinisme fisik-biologis
2. Determinisme psikologis
3. Determinisme sosial
4. Determinisme teologis
Kebebasan sebagai Bagian dari Eksistensi Manusia
Menurut padangan Immanuel Kant tentang kebebasan dan kehidupan moral, perbuatan moral ada pada kebebasan itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya tanggung jawab karena kehidupan tidak berjalan teratur tanpa adanya tanggung jawab.
Arti Kebebasan
Secara umum, kebebasan adalah ketika tidak adanya hambatan, paksaan, halangan, dan aturan. Namun, apabila ditelaah secara khusus, kebebasan tersebut dinamakan kebebasan eksistensial.
Menurut proses Filsuf Whitehead, kebebasan eksistensial adalah penyempurnaan diri dan kesanggupan memilih dan memutuskan. Hal tersebut ditegaskan oleh Franz Magnis-Suseno yang mengatakan bahwa ada kemampuan mengungkapkan berbagai dimensi kemanusiaan yaitu kebebasan dan hak-hak dasar.
Jenis-Jenis Kebebasan :
- Kebebasan Horizontal (berkaitan dengan kesenangan dan kesukaan, bersifat spontan, semata pertimbangan intelektual) dankebebasan vertikal (pilihan moral, pertimbangan tujuan, tingkatan nilai).
- Kebebasan Eksistensial (Kebebasan positif, lambang martabat manusia) dan kebebasan sosial (terkait dengan orang lain) kebebasan sosial dibatasi dalam hal fisik, psikis dan normatif.
Nilai humanistic dalam kebebasan eksistensial :
- Melibatkan pertimbangan
- Mengedepankan nilai kebaikan
- Menghidupkan otonomi
- Menyertakan tanggung jawab
4 alasan adanya pembatasan kebebasan sosial:
a. Menyertakan pengertian
b. Memberi ruang bagi kebebasan eksistensial
c. Menjamin pelaksanaan keadilan bagi masyarakat
d. Terkait dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial.
Sejarah Perkembangan Masalah Kebebasan
Filsafat Yunani tidak memberikan jawaban yang memuaskan atas masalah kebebasan karena :
Adanya pandangan bahwa semua hal berada di bawah “nasib” dan “kehendak mutlak” yang mengatasi manusia dan para dewasa yang secara sadar atau tidak sadar menentukan tindakan. Jadi, tidak ada pertanggungjawaban manusia atas tindakannya.
Menurut pemikiran Yunani, manusia ialah bagian dari alam maka harus mengikuti hukum umum yang mengaturnya.
Manusia terpengaruh oleh sejarah yang bergerak secara siklis.Jaman – jaman yang ada dalam sejarah Perkembangan Masalah Kebebasan :
i. Zaman Abad Pertengahan, masalah kebebasan dilihat dalam perspektif teosentrik
ii. Zaman modern (percaya akal budi), perspektif teosentrik digantikan oleh perspektif antroposentrik
iii Era Kontemporer (pascamodern), kebebasan dipermasalahkan dari sudut pandang sosial
iv. Kebebasan dalam pemikiran Timur cenderung dilihat sebagai pembebasan dari kendala keinginan egoistik dan dari kecemasan untuk mencapai kesatuan dan pengendalian diri.
Sumber : PPT KBK Filsafat Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Monday, October 06, 2014 | | 0 Comments
Subscribe to:
Posts (Atom)
- Afektivitas Manusia
- Aksiologi
- asal usul filsafat
- Deduktif
- definisi filsafat
- Dualisme
- Empirisme
- Epistemologi
- Fallacia
- Fenomena
- Fenomenalisme
- Filsafat
- Filsafat Manusia
- Ilmu Pengetahuan
- Induktif
- Jiwa & Badan Manusia
- Kloning
- Koherensi
- Konsensus
- Korespondensi
- Kosmologi
- Logika
- Metafisika
- Monoisme
- Moral
- Nilai
- Nilai moral
- Objektif
- Ontologi
- Pengetahuan
- Philosphy
- Rasionalisme
- Semantik
- Silogisme
- Subjektif
- Teologi
- Teori kebenaran